Tidak pernah terbayangkan
sebelumnya bahwa aku akan mengandung anak kami yang pertama di negeri orang,
jauh dari orang tua, keluarga, teman, hanya berdua dengan suami. Lebih tidak
terbayangkan lagi jika aku harus berada sendiri di rumah pada malam hari,
seperti yang terjadi pada suatu malam di bulan kedelapan kehamilanku, di kota
Clausthal-Zellerfeld, Jerman, dalam kondisi kehabisan bahan makanan di rumah.
Sudah beberapa hari itu suamiku kerja lembur di laboratorium menyelesaikan
sebagian penelitiannya, sementara aku sudah mengajukan cuti. Karena suamiku
selalu pulang malam, ia tak pernah bisa belanja bahan makanan. Toko-toko di
Jerman tutup setelah jam 18.00. Sedangkan hari Minggu tidak ada toko yang buka
selain café dan restoran. Sudah seminggu ini aku mengurangi aktivitasku ke luar
rumah karena aku sangat menjaga kandunganku. Apalagi aku pernah terpeleset di
atas salju ketika berjalan kaki menuju kampus.
Beruntung aku masih bisa
mengkonsumsi sepotong apel dan segelas susu. Aku masih punya beras tapi tak ada lauk sama sekali.
Bahkan mie instan yang kubeli di toko Asia pun sudah habis. Perutku mulai
melilit menahan lapar. Ya Allah, kasihan sekali jabang bayi di kandunganku,
karena ibunya tidak memperhatikan asupan makannya. Dalam sholatku aku memohon agar
selalu diberi kesehatan. Malam itu suamiku baru akan tiba di rumah pukul 22.00,
sekarang baru pukul 20.30.
Tiba-tiba
kudengar suara bel berbunyi. Siapa itu? Tidak mungkin suamiku karena ia membawa
kunci rumah di lantai satu, sehingga tentu ia hanya tinggal mengetuk pintu
kamar kami jika sudah tiba di lantai tiga. Tapi ini pasti tamu sungguhan yang membunyikan bel dari
luar rumah. Kutekan tombol otomatis
untuk membuka pintu utama rumah. Tak lama kemudian pintu kamar kami diketuk.
“Meta!!”
sebuah suara yang kukenal memanggilku. Ia adalah tetangga kami yang tinggal di
seberang jalan, seorang anak laki-laki kelas empat SD, anak ke empat dari lima
bersaudara keluarga Jerman. Kubuka pintu kamar,
“Hai!!”
sapaku, dan kulihat anak itu dengan senyum terkembang menyodorkan sebuah
bungkusan ke padaku, “Apa ini?” Anak
itu menjawab,”Ikan panggang. Tadi sore aku dan kakakku mancing dan mama bilang
bawakan saja pada Meta dan Abu, mereka pasti suka”. Subhannallah, Alhamdulillah.
(disarikan dari “Jabang Bayi Pembawa Berkah”,
satu kisah dalam buku ‘Ketika Rasa Syukur Tak Pernah Habis Terucap”, 2009, Grafindo Media Pratama)
Goslarshe Zeitung,
20 April 1996
Braunschweiger, 6
Mei 1996
Hari ini, 14 Juni
2016, si jabang bayi itu, Fadhil Rizki Clausthaldi genap berusia 22 tahun. Semoga
Allah SWT selalu melimpahkan berkah kesehatan, keselamatan, kesuksesan dan
kebahagiaan kepadanya dan semoga menjadi orang yang berakhlaq baik, pandai
bersyukur dan senantiasa berserah diri kepadaNYA. Aamiin.