Selasa, 14 Juni 2016

ONCE UPON A TIME IN GERMANY


Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa aku akan mengandung anak kami yang pertama di negeri orang, jauh dari orang tua, keluarga, teman, hanya berdua dengan suami. Lebih tidak terbayangkan lagi jika aku harus berada sendiri di rumah pada malam hari, seperti yang terjadi pada suatu malam di bulan kedelapan kehamilanku, di kota Clausthal-Zellerfeld, Jerman, dalam kondisi kehabisan bahan makanan di rumah. Sudah beberapa hari itu suamiku kerja lembur di laboratorium menyelesaikan sebagian penelitiannya, sementara aku sudah mengajukan cuti. Karena suamiku selalu pulang malam, ia tak pernah bisa belanja bahan makanan. Toko-toko di Jerman tutup setelah jam 18.00. Sedangkan hari Minggu tidak ada toko yang buka selain café dan restoran. Sudah seminggu ini aku mengurangi aktivitasku ke luar rumah karena aku sangat menjaga kandunganku. Apalagi aku pernah terpeleset di atas salju ketika berjalan kaki menuju kampus.
Beruntung aku masih bisa mengkonsumsi sepotong apel dan segelas susu. Aku masih punya beras tapi tak ada lauk sama sekali. Bahkan mie instan yang kubeli di toko Asia pun sudah habis. Perutku mulai melilit menahan lapar. Ya Allah, kasihan sekali jabang bayi di kandunganku, karena ibunya tidak memperhatikan asupan makannya. Dalam sholatku aku memohon agar selalu diberi kesehatan. Malam itu suamiku baru akan tiba di rumah pukul 22.00, sekarang baru pukul 20.30.
Tiba-tiba kudengar suara bel berbunyi. Siapa itu? Tidak mungkin suamiku karena ia membawa kunci rumah di lantai satu, sehingga tentu ia hanya tinggal mengetuk pintu kamar kami jika sudah tiba di lantai tiga. Tapi ini pasti tamu sungguhan yang membunyikan bel dari luar rumah. Kutekan tombol otomatis untuk membuka pintu utama rumah. Tak lama kemudian pintu kamar kami diketuk.
“Meta!!” sebuah suara yang kukenal memanggilku. Ia adalah tetangga kami yang tinggal di seberang jalan, seorang anak laki-laki kelas empat SD, anak ke empat dari lima bersaudara keluarga Jerman. Kubuka pintu kamar,
“Hai!!” sapaku, dan kulihat anak itu dengan senyum terkembang menyodorkan sebuah bungkusan ke padaku, “Apa ini?” Anak itu menjawab,”Ikan panggang. Tadi sore aku dan kakakku mancing dan mama bilang bawakan saja pada Meta dan Abu, mereka pasti suka”.  Subhannallah, Alhamdulillah.

(disarikan dari “Jabang Bayi Pembawa Berkah”, satu kisah dalam buku ‘Ketika Rasa Syukur Tak Pernah Habis Terucap”, 2009, Grafindo Media Pratama)



  Goslarshe Zeitung, 20 April 1996




 Braunschweiger, 6 Mei 1996

Hari ini, 14 Juni 2016, si jabang bayi itu, Fadhil Rizki Clausthaldi genap berusia 22 tahun. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan berkah kesehatan, keselamatan, kesuksesan dan kebahagiaan kepadanya dan semoga menjadi orang yang berakhlaq baik, pandai bersyukur dan senantiasa berserah diri kepadaNYA. Aamiin.