Jumat, 27 Mei 2011

MUSLIMAH YANG BERKEPRIBADIAN*


Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirabbilalamin. Segala puji bagi Allah SWT,Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam tetap terlantun bagi Rasulullah  Muhammad SAW beserta keluarganya yang mulia, sahabat-sahabatnya yang tercinta dan pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Adik-adik mahasiswi yang dirahmati Allah SWT. Berbahagialah para muslimah karena kita ditakdirkan menjadi perempuan, yang memiliki banyak kelebihan dalam berbagai sisi kehidupannya. Berbahagialah perempuan yang mendirikan shalat dan berpuasa dengan taat dan khusyuk, yang  menutup aurat dan mempunyai rasa malu, yang berwibawa dan mempunyai sikap teguh, yang terpelajar, terdidik, serta selalu menelaah dengan penuh kesadaran dan selalu dituntun oleh pentunjuk, yang memenuhi janji dan memegang amanah, yang jujur dan mempercayai kebenaran. Berbahagialah perempuan yang senantiasa bersabar, bertaubat dan hanya tunduk serta berharap kepada Allah, yang selalu berdzikir, bersyukur dan berdakwah dengan giat dan cekatan, yang meneladani Asiyah, Maryam dan Khadijah, yang mendidik anak-anaknya dan mencetak generasi-generasi sejati, yang memelihara nilai-nilai kesucian dan menjaga keteladanan Nabi-Nya. Berbahagialah perempuan yang merasa terusik terhadap pelanggaran ketentuan yang diagungkan dan dihormati serta menjauhkan diri dari perkara-perkara yang haram (dikutip dari buku Dr. Aidh bin Abdullah Al-Qatni, MA)..

 

*disampaikan sebagai keynote speech pada Konferensi Mahasiswi se Sulselbar, Sabtu, 21 Mei 2011.
**dosen Fakultas Pertanian Unhas


Muslimah yang berpendidikan  
Adik-adik mahasiswi yang dirahmati Allah SWT, muslimah dan ilmu atau pendidikan tak dapat dipisahkan. Tak ada muslimah yang mau tinggal bodoh atau dibodoh-bodohi atau memperbodoh diri sendiri. Menuntut ilmu menjadi suatu kewajiban ketika kita ingin membuat suatu perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Muslimah yang terdidik dan berilmu akan memberi kontribusi yang besar bagi suatu kebangkitan baik dalam lingkup kecil yaitu keluarga dan kerabat maupun dalam lingkup yang lebih besar yaitu umat.
Rasulullah SAW melihat bahwa pendidikan harus dimulai dari dalam diri (nafs) atau mental. Sebab jika pendidikan tidak dimulai dari dalam (mental) maka apapun manifestasi pendidikan tersebut hanyalah manipulatif. Pendidikan adalah proses manusia untuk menjadi sempurna yang diridahi oleh Allah SWT. Kesempurnaan tersebut adalah kesempurnaan yang diridhai oleh Allah SWT bagi hamba-hambaNya serta kesempurnaan yang ditetapkan oleh syariatNya. Bukan kesempurnaan yang digariskan oleh para filsof (Hafidz Abdurrahman, 2005). 
           
Kesuksesan muslimah
            Adik-adik mahasiswi yang dirahmati Allah SWT. Apa sesungguhnya definisi dari “sukses”? Lebih khusus lagi apa makna kesuksesan bagi seorang muslimah? Apakah ia dikatakan sukses jika sudah meraih gelar sarjana, terutama jika dengan predikat “cum laude”. Ataukah jika ia sudah memperoleh pekerjaan dengan gaji di atas rata-rata? Sebagian muslimah mungkin menganggap sukses adalah jika sudah lolos menjadi PNS sesuai cita-citanya sejak kecil. Sebagian lagi mungkin menganggap sukses adalah jika berhasil bergabung dengan perusahaan multinasional atau bahkan perusahaan asing dengan penghasilan yang menggiurkan. Tapi alih-alih bisa menikmati hasil kerjanya, sebagian besar mungkin merasa tersiksa karena harus berangkat kerja pagi-pagi sekali dan kembali ke rumah pada malam hari dalam kondisi kelelahan yang amat sangat. Masih ada banyak lagi definisi sukses yang bisa muncul karena setiap pribadi akan mendefinisikannya sendiri-sendiri.
            Saya pun memiliki definisi sukses sendiri yang telah saya pikirkan masak-masak dan saya yakini bahwa definisi itu buatan saya sendiri tanpa campur tangan orang lain. Sukses bagi saya adalah jika telah dapat memberikan manfaat bagi orang lain, jika telah dapat memberikan kebahagiaan, ketenangan dan kenyamanan bagi orang lain dan jika keberadaan saya diharapkan oleh orang lain yang semuanya saya lakukan atas ridha Allah SWT.
            Dalam sebuah buku yang pernah saya baca, kesuksesan adalah memastikan bahwa tidak satu detik pun yang dilewatkan tanpa meraih ridha Allah SWT, dengan memenuhi semua kewajiban dari Allah SWT dalam semua aspek kehidupan, baik itu dalam ibadah, sebagai istri, ibu, anak, memenuhi kontrak kerja, menutup aurat di wilayah publik, bergaul terpisah dari laki-laki atau mengemban dakwah untuk meninggikan kalimat Allah SWT (Saifullah,. 2008).

Kodrat sebagai perempuan
            Adik-adik mahasiswi yang dirahmati Allah SWT. Saya selalu merasa terusik setiap kali mendengar pendapat bahwa seorang perempuan tak perlulah sekolah terlalu tinggi karena nantinya akan masuk ke dapur dan menjadi ibu rumah tangga. Pada masa sekarang pun kalimat itu masih sering terdengar. Sebenarnya yang membuat saya merasa terusik bukanlah makna tersurat dari kalimat tersebut namun lebih pada makna tersirat. Memangnya apa yang salah dengan profesi ibu rumah tangga. Sampai saat ini saya masih sering merasa “iri” (sengaja saya beri tanda kutip karena iri di sini berkonotasi positif, yaitu iri yang akan memacu kita memperbaiki diri, jadi bukan iri yang berkonotasi negatif yaitu tidak suka melihat capaian orang yang lebih dari kita). Saya merasa iri dengan ibu rumah tangga yang sanggup memberesi semua permasalahan di rumah, sanggup menyiapkan dan menyajikan makanan-makanan yang sehat, bergizi, aman dan halal bagi keluarganya, sanggup mendampingi anak-anaknya mengerjakan pekerjaan rumah mereka, sanggup mendidik anak-anaknya agar berakhlak baik dan bersikap santun kepada semua orang, sanggup mendampingi suaminya dan menjadi tempat curhat bagi suaminya dengan masalah pekerjaannya, tapi masih juga bisa tersenyum ceria setiap saat seakan tidak pernah merasa lelah. Tentulah yang ada dalam benak perempuan-perempuan seperti itu adalah keyakinan dan keihlasan menjalankan kodratnya sebagai perempuan. Kondisi itu yang kadang membuat saya merasa rendah diri jika bertemu dengan perempuan-perempuan hebat seperti itu.
            Kembali pada urusan menuntut ilmu yang tinggi, lalu, apa gunanya jika seorang muslimah nantinya menjadi ibu rumah tangga dan tidak memanfaatkan atau menerapkan ilmu yang sudah diperolehnya dengan susah payah.
Adik-adik mahasiswi yang dirahmati Allah SWT. Profesi ibu rumah tangga biasanya dibedakan dengan wanita karier yang bekerja di luar rumah. Namun pada masa sekarang perbedaan itu pun mulai menipis. Seorang wanita karier tidak harus bekerja di luar rumah, demikian juga seorang ibu rumah tangga dapat pula berkarier di rumah. Hal ini akan lebih memudahkan muslimah untuk memenuhi kodratnya sebagai  perempuan yang harus mengurus dan mendidik anak namun juga dapat membantu suami mencari tambahan penghasilan dari rumah. Di sinilah manfaat ilmu yang diperoleh. Tentunya kita sebagai muslimah akan merasakan suatu kebanggaan jika mampu mendidik anak-anak kita menjadi pribadi yang shalih dan shalihah,  pandai, santun dan senatiasa berpegang pada Al Qur’an dan As-Sunnah. Muslimah harus berilmu, harus berpendidikan, harus pandai, agar bisa menularkan ilmunya kepada orang lain.     
Adik-adik mahasiswi yang dirahmati Allah SWT. Ada sebuah tulisan yang cukup menyentuh perasaan saya yang  bercerita tentang ungkapan hati seorang anak kecil terhadap ibunya. Ia mengatakan bahwa Umiku adalah teladan pertamaku, karena Umiku, kucinta ilmu, karena Umiku, kuingin berdakwah. Umiku adalah teladan pertamaku, saat aku belum mampu menjangkau seperti apa keteladanan yang diajarkan Rasulullah. Aku bersyukur, Umiku selalu ada di dekatku, menentramkanku, membelai kepalaku, membuatku tertidur begitu nyenyak hingga sel-sel kelabu dalam otakku pun bekerja dengan sangat baik. Saling mengait membentuk jaringan yang kelak akan menyempurnakan sistem kerja komputer otakku. Umiku yang sabar bukan berarti ia keluaran sekolah rendahan. Tidak. Ternyata ia seorang insinyur, lulusanperguruan tinggi terkemuka di kota ini. Predikat kelulusannya “sangat memuaskan”. Berarti ia adalah seoramg wanita yang cerdas. Untuk itulah ia ingin mengoptimalkan kecerdasannya untuk merawatku, putri kesayangannya. Pernah kudengar ia mengatakan “setidaknya kuoptimalkan pikiran, waktu dan tenagaku untuk menyempurnakan pengasuhan di periode emas pertumbuhannya. Soal tawaran berkarir, nanti saja kupikirkan lagi sampai pengasuhan putriku telah kusempurnakan. Itupun bisa kuterima tawaran itu atau tidak tergantung waktu luangku”. Luar biasa, bukan. Ia mengatakan berkarir hanyalah bila ada waktu luang saja. Sementara di sisi lain, banyak para ibu yang justru mengutamakan karirnya dan mengisi waktu luangnya dengan mengasuh anak (Lathifah Musa, 2005). Semoga kita dapat memetik manfaat dari kisah tersebut.
Adik-adik mahasiswi yang dirahmati Allah SWT, ilmu yang kita peroleh di setiap jenjang pendidikan akan menjadi bermanfaat manakala kita bisa menerapkannya untuk tujuan yang mulia. Kita tak boleh hanya duduk manis dan menerima keadaan dengan menganggap toh kita bukan penentu kebijakan. Dimulai dari lingkup kecil di dalam keluarga, di dalam kelompok kajian, kelompok muslimah sampai komunitas besar seperti yang ada pada hari ini, kita akan bisa membuat perubahan ke arah yang lebih baik demi umat.
Demikian penyampaian saya. Terima kasih atas perhatian adik-adik mahasiswa, jika ada kesalahan atau kekurangan dalam penyampaian ini saya mohon maaf karena segala kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.

Pustaka Acuan:
1.    Dr. Aidh bin Abdullah Al-Qarni, MA, 2004. Tips Menjadi Wanita Paling Bahagia di Dunia, Maghfirah Pustaka, Jakarta.
2.    Hafidz Abdurrahman, 2005. Membangun Kepribadian Pendidik Umat, Wadi Press, Jakarta.
3.    Lathifah Musa, 2005. Namaku Jannah, Pustaka Ar-Raudhoh, Yogyakarta.
4.    Saifullah (editor), 2008. Islam & Wanita; dari rok mini hingga isu poligami, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor.