Minggu, 17 Juni 2012

TOUR DE JAVA : Merealisasikan mimpi melalui usaha, kerja keras dan doa (bagian pertama)

Selasa pagi tanggal 6 Maret 2012 merupakan momen awal yang membuat aku sadar bahwa rencana mahasiswa S2 Ilmu & Teknologi Pangan Unhas untuk study tour ke Jawa akhirnya jadi kenyataan. Pelepasan secara resmi oleh PD1, meskipun kesannya kurang “menggigit” karena hanya dihadiri oleh beliau dan aku sebagai dosen pendamping, sudah cukup punya kesan bagi mahasiswa-mahasiswaku. Aku berangkat paling awal hari itu, yaitu jam 11 pagi. Sebenarnya dua hari yang lalu salah seorang mahasiswa, Mariani, sudah ke Jawa terlebih dahulu karena ada keperluan lain. Rencananya ia akan menunggu kami di bandara Juanda, Surabaya.


Pelepasan rombongan oleh PD1 Faperta (minus 2 orang anggota rombongan)

Cuaca ternyata tidak terlalu mendukung karena mendung dan awan gelap di mana-mana, tapi syukurlah pesawat dapat mendarat dengan selamat setelah berputar-putar beberapa saat di atas bandara Juanda. Karena sudah menjadi keputusanku dan aku tiba pertama maka risiko menunggu berjam-jam di bandara sudah masuk dalam perhitungan schedule-ku hari itu. Kloter berikutnya baru tiba pukul 14 lewat. Masih menunggu lagi. Akhirnya kloter terakhir mendarat pukul 17 lewat.

Perjalanan pertama & belanja pertama
 
Rute pertama yang akan kami lalui adalah Surabaya-Malang. Dengan menggunakan dua mobil sewaan berkapasitas 7 orang, meluncurlah kami menuju kota Malang dengan berhenti untuk makan malam di sebuah rumah makan bernama Warung Santai. Menu yang disajikan secara prasmanan ternyata malah membuat kami kebingungan memilih, akhirnya bertanya kiri-kanan, “Itu makanan apa?” “Itu dibuat dari apa” “Kenapa porsinya segede gajah???” Ada tahu goreng berukuran jumbo, kemudian sejenis tumpi-tumpi yang dibuat dari daging (dipotong kasar) dengan kelapa parut dan dibentuk meliliti setangkai kayu/lidi, ya semacam tusuk sate. Ada pula campuran daging ayam dan tepung (yang pasti lebih banyak tepungnya dibandingkan ayamnya) kemudian dicetak semacam lontong besar dan dipotong serong lalu digoreng (aku mencoba mendeskripsikan cara pengolahannya dengan mengamati bentuknya). Apapun menu yang dipilihnya, yang penting semua bisa menikmati makan malam pertama di luar Makassar.


Tersedia berbagai jenis dari yang biasa sampai yang aneh


Dalam keadaan lapar semua terasa nikmat

Kami tiba di Malang pukul 21.30 dan menginap di rumah keluarga Fitrah di Omah Kampus, sebuah perumahan yang asri, sejuk dan tenang. Rumah tersebut hanya ditempati oleh dua orang pria yaitu saudara sepupu Fitrah, seorang telah lulus dan seorang lagi masih kuliah. Ketika rombongan kami tiba, kedua penghuni untuk sementara pindah tidur ke rumah tetangga. Salah seorang anggota rombongan yang merupakan lelaki satu-satunya, Wildan, ikut juga ke rumah tetangga sehingga rumah yang kami tempati serasa milik sendiri karena kami 11 orang wanita semua.

Kami belum melewati satu hari di Jawa, namun naluri wanita yang selalu ingin belanja sudah mulai nampak jelas. Bayangkan saja, di meja ruang tamu rumah itu tertata banyak boneka Shaun the Sheep yang dibuat oleh penghuni rumah. Selain itu ada juga ransel Shaun the Sheep. Segera saja boneka-boneka itu diserbu oleh anggota rombongan (termasuk aku). Laris maniiiiis. Jadilah boneka  Shaun the Sheep menjadi hasil belanja pertama kami.

Shaun the sheep sekeluarga

Akibat merasa gerah setelah perjalanan sepanjang hari itu, maka antrian pengguna kamar mandi menjadi panjang. Semua ingin segera mandi dan berganti pakaian bersih untuk kemudian tidur dan bermimpi indah. Setiba di rumah itu aku sudah sempat mencelupkan tangan ke dalam ember besar penampung air di kamar mandi. Yaa, hanya untuk mengecek seberapa dingin airnya. Setelah berpikir panjang akhirnya aku memutuskan ke dapur mencari panci untuk memasak air untuk mandi.

Trip to Batu

Kegiatan pertama kami pada karya wisata ini adalah kunjungan ke kota wisata Batu, tepatnya di CV Mitra Arjuna pimpinan ibu Ir. Luki Budiati yang berlokasi di Dusun Tulungrejo. Kami menyewa satu mobil minibus yang bisa memuat kami ber12. Sepanjang perjalanan menuju lokasi tujuan, tak henti-hentinya semua mahasiswa berdecak kagum melihat suasana desa yang sangat asri dan sejuk dengan pemandangan kebun buah, sayur dan bunga di mana-mana. Terlebih lagi saat sudah diterima oleh ibu Luki dan keluarganya yaitu suaminya, pak Syamsul, yang sangat kocak (meskipun kesan pertama seperti dosen yang galak) kemudian bu Elly, adik bu Luki, yang membantu menangani usaha-usaha pengolahan di situ seperti teh celup apel, ubi ungu beku, penyiapan benih bunga Sandersonia siap ekspor yang konon kabarnya merupakan satu-satunya di Indonesia.


Foto bersama di depan kantor CV Mitra Arjuna sebelum masuk


Aku bersama pengelola CV Mitra Arjuna



Secara umum usaha yang dilakukan CV Mitra Arjuna sangat beragam, sebagai gapoktan, selain tiga usaha yang sudah kusebutkan tadi. Yang utama sesungguhnya adalah penyediaan bunga-bunga segar untuk pesanan segala acara, demikian juga pemasok sayuran segar ke supermarket-supermarket bahkan sampai ke Makassar, pengolahan kripik jamur, pembuatan minuman sari buah aneka rasa. Untuk kripik jamur terdapat kerjasama saling menguntungkan antar kelompok petani. Kelompok petani yang satu membuat media pembibitan jamur tiram, kelompok lainnya membudidayakan jamur tiram dan kelompok lainnya mengolah jamur tiram tersebut menjadi kripik maupun nugget.


Jamur tiram siap panen


Olahan jamur tiram: kripik jamur dan nugget jamur


Foto bersama pak Joni Rahmat dan istrinya, pengolah jamur tiram


Pengemasan sari apel celup

Pelajaran berharga yang kami peroleh dari kunjungan ke Gapoktan tersebut adalah adanya usaha keras, tak kenal lelah dari pionir-pionir tersebut yang memulai semuanya dari nol, dari pekerjaan yang rendah sampai akhirnya bisa membuahkan sukses yang luar biasa. Berani mencoba hal-hal baru, itu pula prinsip yang mereka ajarkan kepada kami. Aku sempat malu ketika pak Syamsul menceritakan bahwa pendidikan mereka hanya S1 tapi ilmu dan pengalaman yang mereka miliki sudah mereka ajarkan sampai ke luar negeri, terutama Jepang. Sementara aku, untuk tingkat lokal saja masih terhitung biasa-biasa….


Penyerahan cindera mata, sebuah miniature kapal phinisi, kepada ibu Luki Budiarti

Refreshing pertama
Kami merasa puas dan kenyang di kota Batu, disuguhi kripik jamur, nugget jamur, bakso Malang, minuman sari buah, sampai akhirnya kami diberi dua kantong besar apel Malang, dua jenis yaitu apel Ana (yang berwarna merah) dan apel Manalagi (yang berwarna hijau). Selanjutnya perjalanan untuk refreshing pertama ke Jatim Park II, sebuah lokasi wisata berupa kebun binatang, museum satwa, hotel dan wahana permainan outdoor. Sebenarnya kami berniat langsung ke Yogya siang itu tapi sang sopir yang membawa kami berkilah lebih baik berangkat malam supaya tiba di Yogya subuh, karena jika berangkat siang atau sore akan  berpapasan dengan kendaraan besar seperti truk, bis, tronton. Secara logika sama saja, toh malam hari juga akan berpapasan dengan kendaraan-kendaraan sejenis itu, namun setelah kupikirkan lebih dalam lagi, akhirnya aku menemukan jawabannya (benar tidaknya aku tidak tahu karena tidak sempat menanyakan kepada sang sopir). Pada malam hari akan lebih jelas nampak kendaraan dari arah berlawanan karena menggunakan lampu sedangkan siang hari, karena suasana terang, tidak akan jelas nampak jika ada kendaraan dari arah berlawanan sebelum sang driver sendiri yang memiringkan kepalanya untuk “mengintip” ke depan.

Tampak depan Jatim Park II dengan Hotel Pohon Inn

Jatim Park II sudah seperti kebun binatang terkenal di luar negeri yang pernah kukunjungi yaitu Wilhelma di Stuttgart. Membanggakan juga jika di Indonesia sudah ada tempat-tempat seperti itu.  Namun aku tidak bisa berlama-lama di area itu karena harus segera keluar untuk menemui kawanku, mbak Hanny Handayani, dosen Universitas Muhammadiyah Malang, teman sesama reviewer PKM Dikti tahun 2007 yang lalu yang memang bermaksud menemui bersama suaminya, Warkoyo (teman seangkatanku saat kuliah di UGM) yang sudah menungguku di depan Reptil Garden. Sebagian mahasiswa memang sejak awal tidak berniat masuk ke arena museum namun hanya beristirahat di depan arena. Sebagian lagi, yang semula masuk bersamaku, masih betah berlama-lama di arena permainan outdoor.


Foto bersama di dalam “sangkar burung”


Berpose bersama Spongebob

Trip to Yogyakarta

Pukul 07.00 malam setelah menunaikan sholat maghrib, kami berangkat ke Yogya. Aku sempat tertidur sesaat dalam bis kecil itu, namun selanjutnya sama sekali tak bisa kupejamkan lagi mataku. Entah karena posisi duduk yang tidak pas dengan barang-barang bawaan yang kuletakkan di depanku atau karena aku tegang mengamati cara sang driver membawa mobil, yang dengan santai dan lincah melambung kendaraan-kendaraan besar di depannya. Aduuuuuh… semua itu membuat perutku melilit menahan ketegangan sementara semua mahasiswa yang duduk di kanan, depan dan belakang, tertidur pulas.

Pukul 5 pagi kami tiba di Yogya. Teringat lagu lama milik KLA Project: “Pulang ke kotaku…..” Kami diterima dengan baik dan ramah oleh penghuni asrama mahasiswa Sulsel yaitu wisma Latimojong. Letak asrama itu sangat dekat dengan kampus UGM, Bulaksumur. Jl. Cik di Tiro, jalanan yang setiap harinya kulalui dengan motor ketika aku kuliah di kota itu dulu.
 
Wisma Latimojong di Yogya

Suatu pelajaran berharga bagi mahasiswa yaitu membiasakan disiplin dan belajar menghargai waktu.  Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa rombongan kami akan diterima di UKM di Yogya pada pukul 8 pagi. Jadi intinya adalah, kami hanya punya waktu kurang dari 3 jam untuk membenahi barang bawaan, membersihkan badan dan bersiap untuk memulai kunjungan. Suatu hal yang tidak mudah namun harus dilakukan. Alhamdulillah semua berjalan lancar, membenahi barang bawaan, mandi, sarapan bisa dikerjakan dengan seefisien mungkin.

Kami baru meninggalkan asrama pada pukul 8.45 karena menunggu wakil dari FTP yang akan mendampingi kami ke UKM yang dituju. Pak Sukiyo namanya. Aku merasa akrab dengan wajahnya, ternyata memang dulu beliau adalah pegawai perpustakaan FTP UGM pada masa perkuliahanku di sana. Berangkatlah kami menggunakan sebuah minibus menuju UKM. Dua UKM yang akan kami tuju adalah UKM tahu dan tempe milik pak Ngatijan di Imogiri dan UKM camilan tradisional geplak, wingko, yangko dan bakpia yang diberi nama usaha Geplak Jago milik ibu Fatimah di Bantul.


Berpose di depan tempe yang sedang difermentasi

UKM kedua yang membuat mahasiswa antusias karena produk yang diolah adalah makanan tradisional Jawa khususnya Yogyakarta yang cukup asing bagi mereka. Bangunan UKM tersebut memanjang ke belakang dan memuat semua lini produksi camilan dengan peralatan yang serba sederhana. Usaha tersebut merupakan usaha turun temurun sejak puluhan tahun silam.

Mengamati pembuatan geplak

Beberapa mahasiswa kulihat ikut serta membantu membungkus yangko dan wingko, namun sesekali mereka juga mencomot camilan itu dan memasukkannya ke dalam mulut sehingga mungkin kalau dihitung dari 5 produk yang dibungkus, satu di antaranya sebagai tester. Penerimaan yang ramah dari kedua UKM tersebut sangat berpengaruh terhadap semangat kami mengingat sebagian besar dari kami (tapi aku yakin semuanya) masih lelah dan mengantuk setelah perjalanan jauh dari Malang malam sebelumnya.

 Membantu mengemas wingko


Mengamati pembuatan bakpia

Sekali lagi, belajar disiplin dan menggunakan waktu sefektif mungkin adalah pelajaran berharga yang kami terapkan di sini. Kami harus memperhitungkan waktu karena pukul 13 kami akan diterima di FTP UGM, sehingga harus segera meninggalkan UKM camilan tradisional tersebut setelah memborong beberapa jenis produk. Sempat pula kami kembali ke asrama untuk sholat sebelum berangkat ke UGM. Oh ya, Fitrah selalu saja keliru menyebut geplak menjadi gaplek. Bahkan sampai perjalanan terakhir rute tour kami pun sebagian besar masih sulit menyebut dengan lancar geplak, wingko, yangko dan bakpia.


Berpose bersama bu Fatimah pemilik usaha Geplak Jago 

Kami diterima di FTP UGM oleh Wakil Dekan I bapak Bambang Purwantara, Ketua Jurusan TPHP bapak Muhammad Nur Cahyanto dan KPS Magister Ilmu dan Teknologi Pangan bapak Yudi Pranoto di ruang pertemuan fakultas. Pertemuan terasa kurang hidup saat sesi diskusi dan ini sempat membuatku kesal campur kasihan karena hanya 3 orang mahasiswa yang bertanya, itupun setelah berkali-kali dipersilakan bertanya. Sementara mahasiswa-mahasiswa yang lain hanya memandangiku dengan wajah yang kuyu, mengantuk dengan sorot mata 5 watt seakan memohon,”Buuu, sudah mi kodooong, jangan suruh kami bertanya.”


Sesaat setelah selesai pertemuan dengan pejabat-pejabat fakultas

Pertemuan ditutup dengan sesi foto bersama dan penyerahan cindera mata kapal pinisi dari pihak kami. Selanjutnya kami diantar oleh pak Yudi mengunjungi beberapa laboratorium FTP yang digunakan juga oleh mahasiswa S2. Di sana aku bertemu dengan seorang teknisi yang sudah bekerja puluhan tahun sejak aku masih mahasiswa. Mas Khaq, seorang teknisi yang memiliki dedikasi yang kuat, pribadi yang ramah, humoris dan sangat terbuka. Di depan mas Khaq aku sempat bercerita kepada mahasiswa bahwa dulu ketika beliau akan memiliki anak pertama, kami, co-asisten praktikum berusaha membantunya mencarikan nama bayi dari buku Daftar Bahan Kimia. Di laboratorium itu juga aku bertemu dengan adik kelasku pada masa kuliah dulu, Sita, yang saat ini sedang mengambil doktor di FTP UGM.

Begitu banyak kenangan di FTP UGM yang membuatku enggan beranjak dari tempat itu sebelum bertemu dengan dosen-dosenku dulu. Adalah pak Darmanto, yang cukup akrab dengan kami, mahasiswa-mahasiswanya yang sering berada di Laboratorium Latihan, saat menjadi co-asisten maupun saat melakukan penelitian. Saat itu beliau sering mengajak putri bungsunya yang masih TK, Chacha, ke laboratorium sehingga menjadi hiburan tersendiri bagi kami. Memang sebelumnya beliau sempat ku-sms saat sedang pertemuan di fakultas. Selain dengan beliau (kami sempat berfoto bersama mahasiswa-mahasiswaku) aku sempat bertemu pula dengan dosen-dosenku yang lain pak Umar Santoso, pak Supriyanto, bu Agnes Murdiati, bu Sri Kanoni, bu Indyah Sulistyo Utami. Aku agak kecewa karena tidak bisa bertemu dengan dosen pembimbingku pak Sutardi, yang juga kawan seangkatan bu Elly Ishak, kolega dan seniorku di ITP Unhas, saat di Australia dulu. Beliau baru saja meninggalkan kampus saat rombongan kami tiba di FTP. Di jalan keluar, aku bertemu dengan mas Sri Raharjo, kakak kelasku dulu yang baru kukenal setelah aku menjadi dosen dan sering mengikuti seminar di mana-mana. Beliau juga yang menjadi asesor di Program Studi THP Unhas pada saat akreditasi tahun 2006 yang lalu.




Bersama pak Darmanto di depan ruang kerja beliau

Sore itu, dalam perjalanan pulang ke asrama kami singgah makan di rumah makan seafood Numani. Namanya cukup asing di telinga, namun setelah kutelaah lebih dalam  kemungkinan besar berasal dari kata tuman yang artinya addicted atau ketagihan. Sehingga arti kata numani adalah membuat ketagihan. Hahaha….mudah-mudahan benar dan pengetahuan bahasa Jawaku masih oke. Kami kembali ke asrama dengan perut kenyang karena sudah merapel makan siang dan makan malam.

Suasana di asrama cukup menyenangkan karena para penghuninya ramah dan welcome terhadap kami. Bahkan malam itu mereka membuat acara perkenalan dengan kami dalam suasana akrab, duduk di lantai. Aku sebagai yang tertua dan dituakan di rombongan (bukan hanya karena bermutu=bermuka tua) berkesempatan menyampaikan terimakasih kepada mereka yang bersedia menerima kami dengan tangan terbuka dan termasuk kesediaan sebagian penghuni asrama untuk menyingkir sementara karena kamarnya kami tempati.

Pukul 22.30 malam itu aku merasa kelaparan dan membutuhkan sesuatu yang panas berkuah karena perutku mulai berulah. Ditemani Rosdiani aku memasuki warung mie dok-dok tak jauh dari asrama. Alhamdulillah…..masalah perut sudah teratasi dan pasti bisa membuatku tidur nyenyak malam itu.

Maaf ya Borobudur, aku tak mengunjungimu…

Sejak awal, memang mahasiswa-mahasiswaku berniat mengunjungi Borobudur pada hari kedua kami di Yogya. Dan sejak awal pula aku memutuskan untuk tidak ikut ke Borobudur karena ingin bersilaturahmi sekaligus istirahat di rumah tanteku, ibu Harningsih, adik bungsu ayahku, di daerah Condong Catur, Sleman. Pagi-pagi, kami (aku, Nunung, Fitrah, Iin, Nadirah dan Wildan) ke kampus UGM, menikmati suasana Balairung di saat aktivitas kampus baru saja dimulai. Sebenarnya aku juga berniat bertemu dengan pak Sutardi, pembimbingku, karena beliau mengajar pagi sampai jam 8 lewat. Kenangan akan Balairung kembali terbayang di pelupuk mata. Saat aku masih SMP dan menikmati liburan kenaikan kelas ke Yogya, aku sempat berfoto di depan Balairung dan foto itu masih tersimpan sampai sekarang di rumah ibuku di Bogor. Kemegahan pilar-pilarnya membuatku terkagum-kagum dan berangan-angan untuk kuliah di UGM kelak. Angan-anganku akhinya jadi kenyataan. Kemudian terbayang kegiatan rutin Minggu pagiku bersama teman-teman kuliah berolahraga di Balairung.

 Balairung yang penuh kenangan

Yang paling berkesan adalah bemain sepatu roda di sana. Sepatu roda yang kumiliki sejak masih SD ternyata masih bisa dipakai sampai aku dewasa karena desainnya yang memang khusus dan bisa diperbesar sampai ukuran tertentu. Teman-teman kuliahku bergantian menggunakan sepatu roda itu, bahkan ada seorang teman yang dengan sangat percaya diri memberikan petunjuk berupa teori-teori agar bisa bermain sepatu roda dengan baik, meskipun ia sendiri belum pernah menggunakannya. Nah, ketika ia harus mempraktekkan teorinya tersebut, baru melangkah dua meter seketika ia terjerembab dengan posisi yang sangat aneh. Kontan meledaklah tawa kami semua. Di Balairung pula aku diwisuda sebagai Sarjana Teknologi Pertanian bulan Agustus 1990.

Lamunanku tentang Balairung terhenti ketika sms dari pak Tardi masuk yang mengatakan bahwa beliau sudah selesai mengajar. Kebetulan letak FTP UGM dan Balairung bersebelahan. Aku berpisah dengan mahasiswa-mahasiswaku di depan Balairung. Pertemuan dengan pak Tardi semakin menguatkan keyakinanku bahwa hubungan baik antara mahasiswa dan dosen-dosennya terutama dosen pembimbing harus terus dijaga sampai kapanpun karena tanpa mereka kita tidak akan jadi seperti sekarang ini. Aku teringat nostalgia saat penelitian dulu dan hal itu kusampaikan juga kepada pak Tardi. Waktu itu kami, mahasiswa yang mengerjakan proyek Hitachi di bawah bimbingan pak Tardi dan almarhum pak Tranggono sering kerja lembur di Laboratorium Latihan. Pak Tardi meminjamkan kunci laboratorium kepada kami termasuk kunci ruangan kerjanya. Kami tim Hitachi terdiri dari 6 mahasiswa yang terbagi menjadi 3 tema penelitian. Aku bekerja satu tema dengan sahabatku, Hartuti, yang menjadi manager produksi di PT Indofood Sukses Makmur divisi noodles Ancol. Keusilan kami di masa lalu nampak jelas, ketika dengan kunci itu kami masuk ke ruangan beliau, tidak untuk mengambil bahan kimia yang disimpan di situ tapi untuk membuka buku-buku, foto-foto dan arsip-arsip beliau, layaknya detektif yang mencari barang bukti. Akhirnya kami mengeluarkan kipas angin besar dari ruangan beliau karena merasa kegerahan kerja di laboratorium malam itu. Keesokan harinya pak Tardi memanggil laboran dan mengatakan bahwa kipas angin di ruangannya hilang. Paniklah kami yang semalam lupa mengembalikan kipas angin ke ruangan beliau. Dengan menggotong kembali kipas angin tersebut ke dalam ruangan kerja beliau, kami minta maaf karena telah sempat “menghilangkannya”. Beliau bukan tipe orang yang mudah marah, bahkan rasanya aku belum pernah mendapat marah darinya. Pernah suatu kali beliau mengumpulkan seluruh anggota tim proyek Hitachi termasuk dua orang laboran. Entah mengapa pagi itu aku lupa akan jadwal pertemuan tersebut sehingga aku terlambat datang. Aku ragu-ragu untuk masuk ke dalam laboratorium apalagi ketika kudengar pak Tardi bersuara agak keras dan menegur semua anggota tim. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu saja di luar. Setelah pertemuan selesai, teman-temanku menyerbuku dan protes karena aku terlambat datang dan tidak masuk tadi. Dengan tenang kujawab,”Yang penting aku tidak kena marah…. horee!” Semakin kesallah mereka. 


Bersama pak Sutardi

Ketika aku mohon pamit kepada pak Tardi untuk mengunjungi tante di Condong Catur, beliau seketika menawarkan untuk mengantarku. Kebetulan beliau pernah tinggal di daerah itu. Di tempat parkir, aku bertemu dengan pak Suparmo, dosenku yang ketika aku sudah menjadi dosen sempat menjadi kolega di PKMT (Pusat Kajian Makanan Tradisional) yang dulu secara rutin mengadakan pertemuan secara nasional. Akhirnya aku sampai juga ke rumah tante. Uniknya, pak Tardi seakan bernostalgia juga dengan daerah itu karena ternyata beliau juga mengenal almarhum suami tante, alumni Teknik Arsitektur UGM yang pernah kerja di kantor PU. Kemudian, ternyata putra tante seangkatan sewaktu di SMA dengan putra pak Tardi dan mereka dulu bersekolah di sebuah SMA di mana istri pak Tardi mengajar di situ. Wah, rumit juga…. Oh ya, meskipun hanya sekitar 3 jam aku berada di rumah tante, namun banyak hal yang baru kuketahui yang memantapkan keyakinanku bahwa jiwa seni yang melekat dalam diriku, kakakku, anak-anakku, dan anak-anak kakakku sebagian besar berasal dari keluarga ayahku. Tante Harningsih dulunya adalah anggota paduan suara UGM yang juga seorang penari Jawa, putra keduanya sempat bekerja di sekolah music Purwacaraka dan sekarang membuka usaha kursus music di rumahnya, kemudian putri bungsu tante juga pandai menari dan lebih banyak menekuni dunia model. Aku jadi teringat kedua putra kakakku di Bogor. Si sulung yang piawai memainkan gitar aktif di sebuah band sejak SMA dan sekarang band di fakultasnya di UI. Adiknya pun sudah mulai pandai bermain gitar. Sedangkan anak-anakku, belum nampak jelas bakat seninya, hanya si bungsu yang suka menari, fashion show dan camera maniac. Ibunya bagaimana yaa….?


Aku dan tante Harningsih

Pukul 13 lewat aku meninggalkan rumah tante, diantar oleh saudara sepupuku, menuju Malioboro, lokasi di mana aku dan rombongan mahasiswa akan bertemu nantinya untuk kembali ke wisma bersama-sama. Ketika kudengar mahasiswa-mahasiswa ingin berbelanja batik dan sejenisnya di Pasar Beringharjo, aku sudah memutuskan untuk tinggal saja berlama-lama di toko Mirota Batik, seberang pasar tersebut. Toko yang menjual aneka barang tradisional, mulai dari kain dan baju batik, souvenir tradisional, wayang, aneka tas, dompet, sandal dari batik sampai kosmetik tradisional seperti bedak, lulur dan lain-lain yang dibuat dari bahan alami. Toko Mirota Batik sudah berkembang demikian pesat, dari yang semula hanya satu lantai sekarang menjadi dua lantai, ditambah lantai ketiga untuk tempat pertemuan atau ekspose hal-hal yang berkaitan dengan seni dan budaya. Suatu hal yang unik baru saja kusadari setelah mendengar komentar dari beberapa mahasiswa. Selama ini aku tak pernah menganggapnya suatu hal yang lain dari biasa. Jika kita memasuki toko-toko maupun pasar swalayan, tentunya kita akan disambut oleh wanita-wanita cantik dan menarik yang dengan senyum manisnya mempersilakan para pengunjung masuk. Di toko Mirota Batik yang terjadi adalah sebaliknya karena yang akan menyambut kita adalah dua orang nenek-nenek berbusana kebaya Jawa yang sangat jauh dari kesan cantik (sayangnya aku tak punya dokumentasinya). Tapi di situlah letak daya tariknya. Kira-kira, apa ada ya toko di Makassar yang berani menerapkan cara seperti itu?

Banduuung….we are coming!
bersambung, sabar yaaaa……………