Kamis, 20 Oktober 2011

FROM VILLAGE TO VILLAGE (an extraordinary travel)

Alhamdulillah, akhirnya bisa juga kuselesaikan my special diary ini, sebenarnya sudah out of date tapi karena sejak awal sudah kuniatkan yaa haruslah kurampungkan tulisan tentang liburan Lebaran tahun ini. Viel Spass beim Lesen!!

Lebaran Tanpa Ketupat
     
     Lebaran kali ini mempunyai kesan yang luar biasa bagi keluargaku, terutama bagiku. Pertama, Lebaran tanpa ketupat. Bagaimana tidak, aku bisa melupakan tradisi membuat ketupat untuk teman makan kari ayam. Biasanya ibu mertuakulah yang membuatkan aku selongsong ketupat dari daun pandan yang tumbuh di halaman belakang rumahku, atau membelikanku selongsong ketupat di pasar. Kali ini beliau absen melakukan hal tersebut karena sedang menjalankan ibadah umroh Ramadhan di tanah suci. Dan herannya, aku tidak mengingatnya sama sekali. Baru setelah sehari menjelang Hari Raya Idul Fitri, aku kebingungan. Karena aku tak sempat ke pasar mencari selongsong ketupat, apalagi kalau harus membuatnya sendiri, terus terang aku tak sanggup, maka biarlah tak ada ketupat kali ini, begitu pikirku. (Aku ingat, sewaktu kecil dulu beberapa kali diajari oleh ayahku membuat selongsong ketupat, tapi tak juga bisa, akhirnya aku menyerah dan tak mau mencobanya lagi sampai sekarang). Sehari menjelang Lebaran, aku disibukkan dengan membereskan rumah dan membuat kue kering coklat dan brownies, keduanya sudah menjadi tradisiku sejak berkeluarga. Kue-kue kering lainnya aku pesan dari kerabatku yang pandai membuat kue. Cerita tentang Lebaran yang absen dari ketupat untungnya tidak berlanjut. Alhamdulillah kami mendapat kiriman buras berukuran tabung sebesar lengan, sebanyak 7 buah, dari ibu tukang cuci di rumahku. Kesan luar biasa lainnya silakan disimak ya dari ceritaku berikut ini.

Mudik Penuh Kesan

     Hari pertama dan kedua Lebaran kami lewatkan di rumah sekaligus persiapan untuk pulang ke desa suami di Enrekang pada hari berikutnya. Kebetulan suamiku mendapat undangan untuk memberikan ceramah tentang pendidikan berkualitas pada acara halal bihalal yang dirangkaikan dengan Seminar Pendidikan di desa Buttubatu. Meskipun demikian, acara inti di Enrekang ini sengaja kami plotkan pada hari terakhir kunjungan ke Enrekang. Perjalanan ke Enrekang dimulai pada hari Rabu tanggal 1 September pukul 08.00 pagi. Sayangnya anak pertama kami, Fadhil, tidak bisa ikut karena ada kegiatan bersama remaja mesjid Ikhtiar di Barru pada hari Jumat sampai Minggu. Tidak apa-apalah, mudah-mudahan ia memperoleh pengalaman yang menarik juga di sana. Biasanya jarak Makassar – Enrekang dapat ditempuh paling singkat 6 jam, namun kami tak mau terburu-buru dan menjalaninya dengan santai. Beberapa kali kami singgah di kota-kota yang kami lalui, singgah makan siang, sholat atau sekedar istirahat mencari angin. Pukul 17.00 kami tiba di kota Enrekang dan menginap di rumah salah satu keluarga di sana, sebuah rumah panggung, seperti sebagian besar rumah di situ. Seperti biasanya, anak-anak sangat terkesan dengan rumah panggung, bahkan aku sudah lama menyimpan angan-angan memiliki rumah panggung yang unik dan artistic di luar kota Makassar.
Esok paginya pukul 8.00 kami melanjutkan perjalanan ke desa Tungka, salah satu desa tempat tinggal suamiku di masa kecil dulu, selain desa Galung, tetangganya. Kami tidak menginap di sana, hanya bersilaturahmi dari satu rumah keluarga ke rumah keluarga yang lain. Di situlah anak-anak mulai berbisik-bisik,”Kenapa kita kerjanya makan terus….” Ketika singgah di rumah nenek Malla, nenek dari suamiku, mulailah beliau mengangkut barang-barang di rumahnya masuk ke mobil kami, ada kacang tanah mentah, langsat, kue-kue Lebaran….. sementara barang-barang di mobil kami yang sedianya untuk oleh-oleh belum banyak berkurang karena masih banyak tempat/rumah yang akan kami singgahi.
     Perjalanan selanjutnya adalah menuju ke desa Pekalobean di kecamatan Cakke lokasi tempat tinggal Ipa, pengasuh anak kami. Sungguh menakjubkan karena berada di lereng gunung dan suasana pedesaan benar-benar terasa dengan pohon-pohon, jalanan setapak, sungai-sungai, bahkan perkebunan sayuran berada di mana-mana, mulai dari bawang merah, kol, lombok, tomat, wortel. Karena jalanan yang menanjak terus membuat mesin mobil kami panas dan ban mobil kiri belakang melemah alias agak kempes. Ternyata salah satu penyebabnya adalah tumpukan koper yang kami letakkan di bagian belakang kiri. Kami sempat berjalan kaki menuju desa tersebut kira-kira 500m sementara mobil kami beristirahat dulu. Setelah setengah jam berlalu suamiku berhasil membawa mobil naik ke desa.


Ketika kita mulai kehilangan nilai-nilai kebersamaan, gotong-royong dan tenggang rasa, maka di desa nilai-nilai tersebut dapat kita rasakan di mana-mana. Sebuah contoh kecil..... mobil kami terparkir di halaman sebuah rumah sementara rumah Ipa masih masuk ke dalam melalui jalan setapak. Memang kami tidak menurunkan semua barang bawaan kami, hanya yang diperlukan saja karena toh kalau memerlukan sesuatu kami bisa saja menuju ke mobil dan mengambilnya. Setelah kesekian kali ke mobil mengambil barang yang diperlukan, suamiku secara tak sengaja meninggalkan kunci di dalam mobil yang terkunci dari luar. Alhasil berbagai usaha pun dilakukan oleh suamiku dan anakku yang kedua, Raihan. Yang mengagumkan dan mengejutkan adalah ketika warga desa berbondong-bondong dari segala penjuru mendatangi mobil kami dan berusaha membantu mengeluarkan kunci dari dalam mobil. Anakku menganggapnya luar biasa karena belum pernah mengalami hal tersebut.





Naik-naik ke Puncak Gunung......
   
     Rumah Ipa seperti halnya rumah-rumah di pedesaan, berupa rumah panggung. Model dan ukurannya bermacam-macam. Kebetulan rumah Ipa termasuk rumah tua yang sederhana, yang bergoyang-goyang ketika angin kencang berhembus. Sungguh mengasyikkan. Hebatnya, anak-anakku sangat excited dengan kondisi tersebut. Tak ada waktu untuk berdiam diri karena sore itu juga kami beramai-ramai hiking ke gunung. Jalanan berbatu-batu menanjak ke lereng gunung juga dilalui mobil bak terbuka yang mengangkut sayuran pasca panen. Di desa yang berbatu-batu tersebut ternyata sangat subur ditanami sayuran. Penduduk mendapatkan mata air di pegunungan yang kemudian dibuatlah saluran air untuk mengairi kebun-kebun sayuran. Sepanjang mata memandang terhampar kebun bawang, lombok, wortel, kol. Bahkan kami sempat mendapatkan seikat wortel yang dicabut langsung dari tanah.


     Setiba di atas gunung (hehehe....ini baru gunung yang letaknya di bawah, kami tidak naik ke puncak yang paling tinggi), karena sudah pukul 17.00 kami memutuskan untuk turun kembali. Ternyata kami tidak kembali melalui jalan semula, namun melalui jalan pintas yang hanya berupa jalan setapak di tepi tebing terjal. Nun jauh di bawah terhampar kebun sayur. Seandainya kami terpeleset jatuh ke bawah, bisa jadi kami terguling-guling di kebun sayur. Seandainya ada kebun bayam tentu kami bisa langsung makan bayam dan kuat bak Popeye jadi tak perlu kuatir terpeleset. Pengalaman yang sangat seru buatku dan terutama buat anak-anak karena mereka sangat menikmati perjalanan sore itu.

Rumah Penuh Bawang

     Fika, putri bungsuku tidak suka bawang, baik bawang merah maupun bawang putih. Apalagi kalau ayahnya baru saja mengkonsumsi bawang tak akan mau ia berdekatan dengan ayahnya. Biasanya saat flu atau sakit tenggorokan suamiku mengunyah bawang mentah yang memang berefek luar biasa bagi kesembuhannya. Saat di desa pun sesungguhnya suamiku sedang flu sehingga hari itu kembali ia mengunyah bawang merah mentah. Alhasil Fika selalu berteriak, “Bapak pindaaaaah, bau bawaang!” Ya sudah, sang ayah mengalah. Tapi sebentar-sebentar ia masih meminta ayahnya menjauh meskipun sebenarnya posisinya sudah jauh. Aku berkata pelan kepada Fika,”Fika, di mana-mana pasti bau bawang, lihat tuh di bawah rumah!” Di bawah rumah panggung tersebut tergantung berderet-deret bawang merah yang akan dijadikan bibit untuk ditanam. Langsung saja Fika semakin kencang berteriak,” Kasih pindah semua bawaaang!!” Waduuh, kalau di rumah orang seperti ini mana bisa seenaknya… (Tapi Fika akan bertingkah seperti itu kalau kelelahan dan ngantuk. Untungnya bawang hanya jadi masalah saat ia mengantuk. Esoknya melihat bawang ia sudah tak rewel lagi.)
Sebelum tidur pun ia mulai rewel. Anak itu memang tak tahan panas. Di kamarnya di Makassar, meskipun sudah dipasangi AC tetap saja ia minta dikipas-kipas, sehingga aku pernah berkomentar,”Fika cocoknya tinggal di luar negeri yang dingin.” Dan oleh kakak-kakaknya disambung lagi,”Dia paling cocok tinggal di kutub Utara sama orang-orang Eskimo dan pinguin.” Nah, di desa pun ia rewel dan berkata,”Kenapa di sini tidak ada AC nya, panaas, panaaas.” Akhirnya ia tidur tanpa mengenakan baju, hanya celana panjang tipis. Menjelang malam baru terasa dinginnya udara pegunungan, sampai Fika ngompol dan membasahi kasur busa, seprei dan selimut yang dipakainya.



Tak jadi berenang di sungai, di bak mandi pun bolehlah…
     Sejak dari Makassar, anak-anak sangat excited membayangkan akan berenang di sungai di desa seperti saat Idul Adha tahun lalu. Oleh karena itu pakaian renang sudah mereka siapkan jauh-jauh hari sebelum berangkat. Sampai hari kedua di desa, meskipun kami pindah dari desa ke desa, belum juga terealisasi berenang di sungai. Si kecil sudah mulai cemberut setiap melihat baju renangnya masih terlipat di koper. Pada hari ke tiga dari desa Pekalobean kami menuju ke Villa Bambapuang yang letaknya di seberang pegunungan Bambapuang. Pemandangan yang sangat menarik adalah pegunungan yang tampak jelas di depan mata dan berkabut ketika subuh sampai pagi. Seakan-akan, kalau kita menggunakan kacamata 3 dimensi, gunung-gunung tersebut bisa dijangkau dengan tangan. Namun yang paling berkesan bagi anak-anak terutama si bungsu adalah adanya bathtub (bak mandi) yang besar di kamar mandi villa. Segeralah ia minta izin untuk berenang (tepatnya berendam) di dalam bathtub di dalam kamar dengan mengenakan baju renangnya. Alhamdulillah, akhirnya baju renangnya dimanfaatkan juga.





Berbagi di Seminar Pendidikan di Desa Buttubatu

     Semalam di Villa Bambapuang sangat menyenangkan. Terutama ruangan di dalam kamar yang sangat luas dengan beberapa tempat tidur yang menurutku bisa menampung sampai sepuluh orang. Keesokan harinya kami harus meninggalkan villa pagi-pagi bahkan tak sempat sarapan. Ya, karena hidangan makan pagi belum juga siap akhirnya kami minta dimasukkan saja ke dalam Tupperware yang kami bawa dari rumah. Karena bekas pakai, maka kami cuci terlebih dahulu wadah-wadah tadi dengan air dan sabun yang ada di villa sebelum dimasukkan nasi goreng, menu sarapan villa, ke dalamnya. Anak-anak sempat sarapan sedikit di mobil. Perjalanan kami dari Villa Bambapuang menuju desa Buttubatu, namun sebelumnya singgah di desa Papi menjemput keluarga yang akan mengantar kami ke Buttubatu. Di desa Buttubatu itu, suamiku diminta untuk memberikan materi tentang Pendidikan Berkualitas di depan guru-guru di desa itu. Malam sebelumnya, suamiku di-sms oleh panitia dan menanyakan kesediaanku untuk juga memberikan materi. Wah…….mana bisa aku menyiapkan materi dalam waktu sesingkat itu. Tapi setelah diskusi dengan suamiku, akhirnya aku menyanggupi memberikan materi singkat tentang Tips-tips Praktis Meraih Sukses …..kalau itu sih tidak perlu persiapan, berdasarkan pengalaman pribadi dan pengalaman orang lain yang bisa kuingat-ingat saja.



Perjalanan ke Buttubatu ternyata tidak semudah yang kami pikir. Memang jalanannya menanjak tapi seandainya semalam tidak hujan, mungkin mobil Xenia kami tidak akan kesulitan melewatinya. Pada sepotong jalan yang rusak nampak agak berlumpur, nah di situlah masalah terjadi. Mobil yang kami tumpangi ngambeg, tidak mau jalan terus, tetapi memilih mundur terus. Setelah tiga kali berulang, akhirnya suamiku memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan. Kami kembali ke desa Papi, di rumah keluarga kami. Suamiku menelpon panitia di Buttubatu dan menyampaikan keadaan kami saat itu. Akhirnya panitia mengatakan akan menjemput kami. Suamiku memilih membonceng motor seorang kenalan dari Papi, sementara ia memintaku menunggu kendaraan yang menjemputku. Anak-anak kupikir lebih aman tinggal di desa Papi saja toh mereka pasti tak akan sabar menunggu kami ceramah.
Ternyata aku dijemput dengan mobil. Semula aku ragu-ragu karena kemungkinan akan mengalami hal yang sama dengan Xenia kami tadi. Tapi mereka meyakinkan bahwa itu adalah mobil angkutan umum yang biasanya pergi-pulang ke Buttubatu. Ooh iya, Panther. Berangkatlah aku dengan tenang. Tapi kenyataan berkata lain. Kami harus mengalami hal yang sama seperti yang dialami Xenia kami. Aku sampai berkata,”Saya turun saja ya, biar saya jalan kaki sampai jalan yang agak baik.” Mereka mencegahku. Kami tetap di dalam mobil dan mengalami mundurnya mobil sampai 3 kali. Perutku terasa kaku menahan ketegangan. Syukurlah akhirnya kami berhasil melalui jalanan yang bermasalah tersebut.
Seminar yang rencananya dimulai pukul 9.00 harus molor sampai 10.30. Pikiranku hanya tertuju pada anak-anak yang tadi sudah berpesan agar kami tidak lama-lama di Buttubatu. Mudah-mudahan mereka bisa mengerti. Acara seminar yang diadakan di SDN 42 Buttubatu berlangsung dengan baik dan diskusi berjalan dengan lancar. Sambutan warga sangat hangat dan antusiasme mereka dalam diskusi cukup besar. Pada kesempatan itu Kepala Dinas Diknas kabupaten Enrekang juga hadir menyampaikan materi. Ternyata peserta seminar bukan guru-guru seperti yang kami ketahui sebelumnya, tapi warga setempat, kepala sekolah dan sebagian mahasiswa yang berasal dari desa tersebut. Tak apalah, yang penting materi yang kami berikan bisa sampai kepada mereka dan dipahami dengan baik. Syukur-syukur bisa diterapkan nantinya.

Bergoyang-goyang di atas jembatan gantung
   
     Pukul 14.30 baru kami meninggalkan Buttubatu, menjemput anak-anak di Papi lalu melanjutkan perjalanan ke desa Galung. Mengingat ban mobil kami bermasalah sejak di desa Pekalobean maka kami khusus mencari bengkel untuk memompa dan mengganti ban. Perjalanan ke Galung kami tempuh melalui arah lain. Kalau pada saat idul Adha 1431 yang lalu kami ke Galung melalui desa Tungka, sekarang kami melalui desa Temban. Uniknya adalah, mobil melewati sebuah jembatan gantung yang bergoyang-goyang. Sebenarnya jembatan serupa juga ada antara desa Tungka dan desa Galung, namun bedanya, di sana jembatan hanya cukup dilalui oleh orang yang berjalan kaki atau motor, okelah…dua motor yang berpapasan masih bisa melalui jembatan tersebut. Tapi jembatan gantung di antara desa Temban dan desa Galung dapat dilalui oleh mobil namun hanya berukuran satu mobil, sehingga seseorang harus mau bertindak sebagai penjaga di ujung jembatan untuk menghentikan mobil lain atau motor yang akan lewat sebelum mobil yang sudah ada di jembatan lewat dengan lancar. Alhasil itulah yang kami lakukan saat itu.




     Saat itu kondisi Raihan tidak terlalu baik. Sejak perjalanan menuju Papi pagi tadi ia sudah mengeluh sakit perut dan sakit kepala, tapi kami hanya menganggapnya biasa karena melewati jalan yang berkelok-kelok. Dalam perjalanan ke desa Galung, ia lebih banyak berbaring di mobil. Sehingga ketika melewati jembatan gantung, aku, Fauzi dan Fika turun dari mobil dan berjalan duluan untuk menghentikan mobil atau motor yang akan lewat. Anak-anak sangat menikmati hal tersebut.
     Sesampai di desa Galung, waktu sudah menunjukkan pukul 17.00. Kondisi Raihan ternyata tidak lebih baik. Ia muntah-muntah dan demam. Sibuklah kami dan keluarga yang kami datangi, menyiapkan teh panas dan makanan untuk Raihan. Namanya juga orang sakit, mana ada makanan yang enak. Semalaman aku juga mengalami sakit kepala tapi bagiku itu hal yang biasa karena aku memang sering mengalami mabuk perjalanan, sakit kepala masih tergolong ringan, yang parah kalau sampai muntah-muntah. Namun kukira untuk Raihan bukanlah hal yang biasa karena malam harinya ia mengalami diare.

Pulaaaang……..

     Keesokan harinya kami sudah bersiap-siap untuk kembali ke Makassar, tapi sebelumnya kami perlu bersilaturahmi ke rumah keluarga-keluarga di Galung. Karena masih dalam suasana idul Fitri tentunya tidak bisa dihindari setiap berkunjung ke rumah keluarga kami disuguhi minuman dan kue-kue, sampai anak-anak kembali berbisik,”Kenapa kita kerjanya makan terus di desa…..”
     Rumah yang kami tinggali di Galung letaknya tepat di sisi lapangan luas sehingga pandangan kita seakan lepas bebas. Di sisi lain berdiri SDN 139 Galung, tempat suamiku bersekolah dulu. Konon kabarnya ketika SD dulu ia dan teman-temannya harus menimba air dan membawanya dengan ember untuk menyiram lantai kelas mereka yang terbuat dari tanah untuk menghindari debu yang beterbangan. Wah, tentunya lantainya jadi agak becek ya. Kondisi sekolah tersebut sudah jauh lebih baik saat ini, sama dengan sekolah-sekolah lain pada umumnya.
     Aku ingat pernah berkata pada anak-anakku yang merasa tak punya ruang gerak di dalam mobil,”Tenang saja, nanti sesudah dari desa pasti barang-barang kita berkurang, kan sudah dibagi-bagi di desa, jadi kalian bisa lebih bebas bergerak di mobil.” Kenyataannya tidaklah demikian. Di desa terakhir yang kami kunjungi bahkan paling banyak kami diberi buah tangan yang ukurannya tidak tanggung-tanggung seperti beras satu karung, kelapa muda beberapa butir, sampai ayam jago. Hal itu bisa terjadi karena suamiku berkata bahwa ia ingin memiliki ayam di rumah agar suasana rumah lebih hidup khususnya ada yang membangunkan saat subuh. Ia lupa di rumah sudah ada kucing, ikan, kura-kura, bahkan tokek yang bersembunyi di kamar mandi dan kecoa yang kadang muncul pada malam hari…… Anak-anakku mulai gelisah ketika melihat seekor ayam jago mulai di”kemas” di dalam kardus yang dilubangi. Mereka protes,”Kenapa harus bawa ayam segala, bagaimana di mobil nantinya, kasihan dia, nanti sudah bernafas, tidak bisa bergerak……” Tapi menurut suamiku mereka sudah biasa membawa ayam dalam perjalanan ke luar kota, jadi “kemasan”nya juga khusus. Ketika suamiku masih akan berbincang-bincang dengan keluarga pemilik rumah, anak-anakku semakin gelisah. Raihan akhirnya berucap,”Sudah bapak, jangan lama-lama di sini. Semakin lama kita tinggal bisa-bisa kita dibawain kambing….”
     Pukul 10 kami meninggalkan Galung. Go home! Kami excited membayangkan akan melewati jembatan gantung lagi. Karena kondisi Raihan sudah lebih baik dibandingkan ketika tiba di Galung sehari sebelumnya, maka kami berbagi tugas. Aku, Fauzi dan Fika turun dan berjalan terlebih dahulu untuk menghentikan kendaraan yang akan lewat, sedangkan Raihan turun juga, tapi ia berada di belakang mobil, tepatnya di bawah jembatan untuk memotret mobil saat berada di atas jembatan. Aku pun memotret dari sisi depan. Proses pendokumentasian tuntas sudah. Kami masih akan berfoto di jembatan gantung kalau Raihan tidak mengeluh sakit perut lagi. Ternyata sesungguhnya ia belum sehat benar.

     Perjalanan pulang ke rumah terasa lebih lama karena di kota Enrekang kami masih mampir ke rumah keluarga yang kosong pada saat kami tiba beberapa hari yang lalu. Ternyata mereka berada di rumah keluarga yang lainnya yang sedang punya hajatan menikahkan anaknya. Akhirnya kami tiba di rumah tersebut. Meskipun tadi sudah sarapan di Galung, tak pantaslah kami menolak ditawari makan di rumah tersebut, apalagi mereka akan punya hajatan. Kami makan meski hanya sedikit, tapi Raihan sama sekali tak bisa makan. Satu peristiwa unik terjadi di rumah keluarga tersebut. Karena di dalam rumah terasa gerah, maka kami pindah ke teras depan yang berangin dan menikmati makanan kami di situ. Dari teras kemudian tercium aroma masakan yang dibuat di dalam rumah. Aku tak tahu apa itu, tapi lucunya, Fika langsung berkomentar dengan suara yang tegas seperti biasanya,”Enaknya bau tempe gorengnya.” Haaaaa…. Kami terkejut ketika ia dengan yakin mengatakan bahwa itu adalah aroma tempe goreng. Ibu pemilik rumah yang tadinya menemani kami di teras depan lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian ia keluar dengan membawa piring kecil berisikan tempe goreng yang diiris tipis memanjang. Ooooh…ternyata memang benar tempe goreng. Tentu nantinya akan dimasak menjadi hidangan pesta tapi karena sudah terlanjur tercium aromanya, ya sudah tempenya sajalah yang dikeluarkan. Dasar Fikaa.
     Perjalanan kami lanjutkan. Kami berhenti untuk sholat di sebuah mesjid di Sidrap. Sejak berangkat dari Makassar anak-anak sudah menyampaikan keinginan mereka untuk makan di Rumah Makan Es Teler 77 di Pare-pare. Padahal di mana pun kupikir sama saja, tapi letaknya di kota Pare-pare adalah di seberang pantai, mungkin inilah yang mengesankan bagi anak-anak. Ternyata kondisi Raihan tidak lebih baik. Ia yang memesan ini dan itu akhirnya hanya memakan sedikit saja karena perutnya masih melilit katanya. Kasihan juga aku melihatnya karena pada dasarnya anak itu sangat doyan makan. Memang makanan yang masuk ke perutnya tidak menjadikan ia gemuk tapi tinggi, berarti tetap saja ada manfaatnya. Nah, kondisinya saat ini di luar kebiasaannya yang sebentar-sebentar makan, sebentar-sebentar makan. Saat berhenti di Es Teler 77 itu kami sempatkan untuk melihat kondisi ayam jago yang kami bawa dari desa Galung. Anak-anak yang meributkan ayam itu karena kuatir kepanasan lah, tidak bisa bernafas lah, kelaparan lah.
Menjelang maghrib kami berhenti di Pangkep untuk sholat. Karena sudah gelap aku tidak berani mengendarai mobil yang sudah kulakukan sejak di Pare-pare, yang jelas ketika jalanan lurus tidak ada pendakian dan penurunan. Mungkin karena faktor usia atau sejenisnya, pandanganku tidak terlalu tajam pada malam hari. Kalau hanya di dalam kota Makassar dan tidak terlalu jauh aku masih berani tapi kalau sudah hitungan luar kota, I give up. Kami tiba di rumah pukul 20.00 kurang. Sebenarnya kami diminta langsung ke Perumahan BTN Wesabbe, di rumah mertua karena saat yang bersamaan ibu mertuaku kembali dari tanah suci. Tapi karena kami, terutama suamiku, sudah kelelahan, kami tidak sanggup lagi. Kami minta diantarkan saja makanan dari Wesabbe (hehehehe…..ini namanya anak dan menantu yang tidak tahu diri).
      Alhamdulillah kami kembali ke rumah. Meskipun keadaan rumah berantakan, apalagi Fadhil juga sehari sebelumnya baru kembali dari Barru, tapi tak apalah, yang penting sudah kembali ke rumah, menghempaskan badan ke atas kasur dan mencium bantal di kamar, sudah terasa sangat nyaman. Suatu perjalanan yang mengesankan terutama karena selama empat hari kami menginap di empat desa yang berbeda. Mudah-mudahan anak-anakku banyak mendapatkan pelajaran dari kunjungan dari desa ke desa kali ini, apalagi melihat kondisi beberapa anak seusia mereka yang tidak seberuntung mereka, semoga membuat mereka semakin bisa mensyukuri nikmat Allah yang tak pernah berkurang, dan senantiasa rela berbagi.

Last but not least

    Kasihan Raihan, setiba di Makassar sampai 3 hari berikutnya ia menderita diare yang membuat berat badannya turun. Semula kami tidak menduga sampai seserius itu. Ketika kami mencoba melakukan flashback terhadap perjalanan kami yang baru lalu, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa hal itu terjadi karena kelalaian kami. Kondisi Raihan memang tidak terlalu fit karena ia sering pusing setiap perjalanan ke luar kota. Kemudian pada hari kami meninggalkan Villa Bambapuang menuju Buttubatu, wadah Tupperware yang berisi sisa makanan yang sudah basi hanya kami cuci dengan air dan sabun, tanpa dibilas dengan air panas, setelah itu diisi dengan nasi goreng menu sarapan dari villa. Padahal sesuai ilmu yang kami miliki, sisa makanan tersebut pasti mengandung bakteri berbahaya yang harus dimusnahkan dengan perlakuan panas, tidak hanya sekedar air dan sabun. Ternyata anak kami yang harus menderita akibat pikiran praktis orang tuanya. Meskipun Fauzi dan Fika juga memakannya tapi kondisi tubuh mereka saat itu lebih sehat dibandingkan Raihan sehingga tidak memberi efek diare seperti Raihan. Pengalaman pahit yang berharga telah kami dapatkan, semoga di waktu-waktu yang akan datang tidak terjadi lagi.

Tamalanrea, 19 Oktober 2011